بِسْمِ اللَّه الرَّحْمنِ الرّحِيْمِ
.
Jakarta-
Organisasi kemasyarakatan Islam Nahdlatul Ulama kembali menyatakan
perang terhadap korupsi. Dalam deklarasi anti korupsi di kantor Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), Kamis (26/5), hukuman potongan tangan
hingga hukuman mati layak dijatuhkan kepada koruptor.
"Hukuman
yang layak bagi koruptor adalah potong tangan hingga hukuman mati,"
kata Sekretaris Jenderal PBNU Marsudi Syuhud saat membacakan deklarasi.
Hadir
dalam acara deklarasi itu sejumlah tokoh, antara lain Ketua Umum PBNU
Said Aqil Siradj, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dan Wakil Ketua
Badan Pemeriksa Keuangan Ali Masykur Musa.
Dalam
deklarasinya, Nahdlatul Ulama menyatakan korupsi sebagai pengkhianatan
berat terhadap amanat rakyat. Kejahatan korupsi, seperti tertulis dalam
deklarasi tersebut, tidak lebih ringan daripada pencurian dan perampokan
besar.
Organisasi berbasis pesantren
tradisional ini pun menegaskan uang negara, yang sebagian besar berasal
dari pajak, harus digunakan bagi kemaslahatan rakyat, terutama fakir
miskin, tanpa diskriminasi. "Apa pun agamanya, warna kulitnya, dan
sukunya," ujar Marsudi.
Menurut Nahdlatul
Ulama, pengembalian uang hasil korupsi pun tidak menggugurkan hukuman
bagi para koruptor. Alasannya, pengembalian uang hasil korupsi kepada
negara merupakan hak masyarakat. "Adapun tuntutan hukuman merupakan hak
Allah," kata Marsudi.
Dalam kesempatan itu, Ketua PBNU, Said Aqil Siradj kembali menyerukan para kiai untuk tidak menyalati jenazah koruptor.
Acuan
itu menurut Said, telah tertulis dalam keputusan Musyawarah Nasional
Alim Ulama NU tahun 2002.“Disalati harus tapi cukup oleh satpamnya,
tukang pijatnya, tukang kebunnya, jangan oleh tokoh NU atau kyai,” kata
Said Aqil. “Karena kalau kyai doanya lengkap, ampunilah dosanya,
ampunilah kesalahannya, masukan ke dalam sorgaMu, ini keenakan banget,
sudah di dunia korupsi, didoakan seperti itu,” kata dia.
Acara
deklarasi kemarin juga memperdengarkan kembali keputusan penting
organisasi yang pernah dipimpin mendiang Abdurrahman Wahid itu.
Sikap
tentang hukuman bagi koruptor, misalnya, telah menjadi Keputusan
Musyawarah Nasional Alim Ulama NU pada 2002. Adapun sikap tentang
keuangan negara diputuskan dalam Muktamar NU pada 1999.
Sementara
itu, Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia, Teten
Masduki, menyatakan seruan penerapan hukuman potong tangan hingga
hukuman mati bagi koruptor sulit diterapkan di Indonesia. “Itu (fatwa)
hanya bentuk kegeraman ulama. Mungkin penerapannya belum tentu efektif,”
ujarnya.
Dalam penjelasannya, Teten
menyatakan seruan kalangan ulama NU ini merupakan bentuk pendekatan
moral kepada masyarakat bahwa kegiatan korupsi sudah sangat
mengkhawatirkan dan menjadi ancaman moral bangsa di masa mendatang.
Nahdlatul
Ulama, kata Teten, sebagai organisasi masa terbesar cukup tepat untuk
menyuarakan pentingnya penyadaran masyarakat terhadap bahaya korupsi.
“Minimal ada sanksi sosial di masyarakat,” ujarnya. “Jadi, imbauan ini
bisa membuat takut orang yang mau korupsi,” pungkasnya. tmp
0 komentar:
Post a Comment
Trima kasih atas kunjungan anda & follow me
satu lagi gan klik +1 untuk kawan anda