بِسْمِ اللَّه الرَّحْمنِ الرّحِيْمِ .
Oleh; Anthony DM |
Dalam Ramadan ini, wacana di seputar puasa dan pengendalian diri menjadi topik bahasan yang hangat. Biasanya sih urusan puasa pun kita kaitkan hanya dengan hal-hal yang bersifat spiritual. Namun, mari kita melihat puasa dari sisi yang lain yakni faktor pelajaran motivasionalnya.
Sebagai pengantar awal, ada sebuah kisah inspirasional menarik. Ada seorang anak remaja yang menjalankan puasa pada awal-awal Ramadan. Dengan berjalannya waktu, hari pun menjelang senja. Namanya juga masih remaja. Dalam bayangannya, setelah buka puasa nanti, ia akan bisa makan makanan yang enak-enak, termasuk bakso enak di ujung gang, dan tibalah sore berbuka puasa.
Setelah membatalkan puasanya sejenak, dengan uang yang dimilikinya, ia pun pergi ke warung bakso di ujung gangnya. Di sana, setelah antre sejenak, tibalah ia dilayani tukang bakso. Semangkuk bakso yang hangat dengan asap mengepul siap untuk disantapnya. Namun, ketika duduk di meja warung itu, pandangannya tertuju pada seorang anak kecil lusuh yang pakaiannya compang-camping. Wajah anak itu tampak letih dan memelas. Dalam hatinya, si remaja ini berkata, “Biarin aja, toh cuma pengemis kecil. Lupakan dia dan mari habiskan bakso yang enak ini setelah seharian puasa.”
Namun di dalam hatinya muncul suara lain, “Ayolah. Kamu bisa makan bakso kapan pun.” Akhirnya, si anak itu pun duduk di warung, dengan menutup hatinya, ia menyantap baksonya tanpa menghiraukan anak yang malang yang menatapnya itu.
Sejenak hatinya merasa tenang menghabiskan baksonya. Ketika baksonya habis, si anak tidak lagi melihat si anak malang yang compang-camping. Namun, hingga berjalan ke rumah dan hingga malam harinya, si anak itu tidak bisa melupakan wajah anak yang malang itu. “Mengapa saya begitu egois? Apa artinya semangkok bakso itu buatku? Mengapa aku tidak memberikannya saja?”
Malam itulah si anak tersadar. Sadar bahwa ada sesuatu yang lebih penting selain menahan lapar dan haus, yakni mengendalikan ego dirinya.
Pengendalian
Menurut bapak psikologi modern, Sigmund Freud, salah satu bagian dari kepribadian kita adalah unsur ego yang berisi hasrat dan dorongan kuat dalam diri kita. Dorongan, yang disebut id ini, terkait dengan keinginan bagian kanak-kanak kita, yang butuh segera dipenuhi. Dan dengan semakin dewasanya kita, tantangan terbesar adalah kemampuan dan kesanggupan kita untuk mengendalikan id atau dorongan ini.
Tanpa sadar, puasa punya makna sebagai sarana penting untuk berlatih mengendalikan unsur-unsur iddalam diri kita. Di atas permukaan, memang tampaknya puasa hanyalah sekadar menahan lapar dan haus selama waktu tertentu.
Namun, di balik usaha puasa ini, adalah soal bagaimana kita mengendalikan keinginan kita, belajar juga untuk mendisiplinkan diri kita. Ada sebuah kisah, tatkala Michael Jordan diminta untuk membahas kiat kesuksesannya, salah satu hal yang disebutkannya adalah soal pengendalian diri dan disiplin.
“Tanpa kemampuan untuk mengendalikan diri dari berbagai kesenangan dan mendisiplinkan diri, sulit untuk bisa menjadi yang terbaik!” Memang betul yang diucapkannya. Konon, ketika teman-temannya ‘Mike’ Jordan selesai latihan dan bersenang-senang di bar, dia masih terus menambah porsi latihannya minimal 1.000 kali lemparan bola lagi. Pengendalian dan disiplin inilah yang membuatnya menjadi pemain terbaik.
Jadi, di balik puasa, bukanlah cuma urusan menahan lapar dan haus. Namun, lebih prinsipil dari hal itu adalah soal pengendalian diri, disiplin dan menahan diri dari kesenangan.
Pelajaran motivasional kedua dari aktivitas puasa adalah soal delay gratification atau menahan kesenangan. Saya pun teringat dengan eksperimen marsmallow yang terkenal yang dilakukan oleh Walter Mischel dari Stanford University pada 1972. Apa yang dilakukannya?
Sekumpulan anak berusia 4 hingga 6 tahun ditawari marsmallow, semacam gula-gula. Lantas, anak-anak itu diberitahu bahwa kalau mereka mampu menahan dirinya selama 15 menit maka mereka akan mendapatkan dua marsmallow.
Hasilnya, ada anak yang mampu menahan diri dan ada yang tidak sanggup. Setelah itu, bertahun-tahun kemudian anak-anak ini pun diikuti perkembangannya. Ternyata, anak yang mampu menahan diri, jauh lebih sukses dalam prestasi akademik dan kariernya dibandingkan dengan yang tidak sanggup menahan diri. Bah kan, hasilnya 100% mereka yang bisa menahan diri ternyata sangat sukses pada kemudian hari!
Nah, dengan hasil eksperimen yang menarik ini, kita bisa kaitkan pula dengan pengalaman berpuasa. Berpuasa, secara psikologis berarti menahan diri dan menunda kesenangan, bukan? Di sinilah pelajaran tentang delay gratification (menunda kesenangan) dilakukan. Kenyataan menunjukkan dengan jelas bahwa kemampuan menahan diri serta menunda kesenangan ternyata erat kaitannya dengan kesuksesan dan keberhasilan hidup seseorang.
Bahkan, Joachim de Posada, seorang pembicara motivasi yang digelari The Best Hispanic Speaker in The World mengatakan bahwa, “Kalaupun ada satu faktor yang menjadi penentuk kesuksesan, faktor itu adalah kemampuan kamu untuk menunda kesenanganmu!” Jika kita kaitkan, betapa menariknya bahwa selama berpuasa, kita pun sebenarnya mendapatkan pelajaran psikologi yang amat berharga untuk kesuksesan di bidang kita yakni kemampuan untuk menunda kesenagan kita.
Pelajaran ketiga dan keempat dari proses berpuasa adalah pelajaran untuk berempati dan kemampaun untuk bersyukur. Kadangkadang, tatkala melihat pengemis yang lapar dan menyaksikan foto-foto mereka yang menderita kelaparan di Afrika dan lain-lain biasanya kita hanya bisa berceloteh, “Aduh,kasihan ya mereka!”
Namun, biasanya level kasihan ini hanya sebatas pada tataran berpikir (kognitif) saja. Namun, tatkala kita punya kesempatan untuk mengalamai dan merasakan tatkala makna lapar yang sesungguhnya, kita mungkin akan lebih bisa berempati. Kalimat yang keluarpun berbeda, “Iya ya...saya jadi mengerti ternyata sungguh sulit berada dalam kondisi lapar ini.”
Dalam tataran yang lebih dalam, akhirnya kitapun mulai berpikir. Tatkala puasa, kita sebenarnya punya pilihan untuk tidak makan. Namun, bagi mereka yang miskin dan tidak punya uang, berpuasa adalah keterpaksaan, bukan pilihan.
Mereka dipaksa kondisi untuk berpuasa dan menahan diri karena mereka tidak punya apapun. Dengan demikian, puasa member pelajaran empati yang sangat bagus, sekaligus belajar untuk berbela rasa dengan mereka yang sungguh-sungguh tak punya apa pun.
Pada poin yang lain dari empati, seharusnya perasaan bersyukur pun bisa timbul dari dalam diri kita. Pengalaman berpuasa bisa menjadi suatu pelajaran yang berharga untuk menghargai segala hal baik dan mewah yang bisa kita nikmati. Sayangnya, karena sudah menjadi bagian dari kehidupan kita, kita pun tidak lagi merasa bersyukur. Kita merasa segala sesuatu yang kita nikmati ini sudah sepatutnya dan semestinya tersedia.
Kita pun banyak komplain hanya gara-gara nasi kita kekurangan lauk. Kita mengeluh ketika sopir kita tidak masuk dan kita ter paksa jalan kaki. Kita mengeluh tatkala membersihkan rumah sendiri ketika pembantu pulang saat Lebaran. Hidup kita jadi penuh dengan daftar keluhan.
Namun, tatkala puasa, segalanya ditegaskan kembali kepada kita agar selalu bersyukur dan berterima kasih atas apa pun kehidupan yang kita miliki saat ini. Alasannya, ada orang lain yang kehidupannya lebih sulit dan lebih tragis dari yang kita jalani.
Di akhir tulisan ini, saya yang latar belakangnya seorang ahli psikologi, bukan seorang rohaniawan, mencoba mendorong kita sungguh menghargai proses puasa yang kita jalani. Tak mengherankan, hampir semua agama pun mewajibkan puasa kepada para pemeluknya.
Alasannya ternyata bukan hanya secara spiritual menguatkan’ tetapi secara psikologis juga sangat bermakna. Selamat menjalankan puasa dengan suka cita dan suka citalah tatkala berpuasa!
0 komentar:
Post a Comment
Trima kasih atas kunjungan anda & follow me
satu lagi gan klik +1 untuk kawan anda